Suku Tengger berjumlah sekitar 40 ribu (1985) tinggal di lereng G.Semeru dan di sekitar kaldera Tengger. Mereka sangat dihormati karena mereka hidup jujur, tidak iri hati, dan tidak suka bertengkar. Masyarakat Tengger adalah keturunan Roro Anteng (putri raja Majapahit) dan Joko Seger (putera seorang brahmana).
Mereka sangat menjunjung tinggi persamaan, demokrasi, dan kehidupan bermasyarakat. Bahasa daerah yang digunakan Masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Jawa Tengger, yakni bahasa Jawa Kuno. Mereka tidak menggunakan tingkatan bahasa, berbeda dengan bahasa Jawa yang dipakai pada umumnya memiliki beberapa tingkatan.
Tengger dikenal sebagai tanah hila-hila (suci) sejak jaman Majapahit, para penghuninya dianggap sebagai abdi dibidang keagamaan dari Sang Hyang Widi Wasa. Hingga kini Masyarakat masih mewarisi tradisi Hindu sejak jaman kejayaan Majapahit. Agama Hindu di Bali dan di Tengger pada dasarnya sama yaitu Hindu Dharma, tetapi Masyarakat Tengger tidak mengenal kasta, dan masih menganut tradisi yang pernah berkembang pada jaman Majapahit.
Tidak seperti halnya masyarakat Hindu di Bali, Masyarakat Tengger tidak memiliki Istana, pustaka, maupun kekayaan seni-budaya tradisional, meski memiliki beberapa obyek penting semacam lonceng perunggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing. Namun demikian mereka kaya akan kepercayaan dan upacara adat, diantaranya ialah:
Upacara Karo
Hari raya terbesar masyarakat Tengger adalah Upacara Karo atau Hari Raya Karo. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka cita, mereka mengenakan pakaian baru kadang membeli pakaian baru hingga 2-5 pasang, perabotpun juga baru. Makanan dan minumanpun melimpah.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.
Upacara Kapat
Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
Upacara Kawulu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
Upacara Kasada
Upacara ini diadakan pada saat purnama bulan Kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara ini disebut juga sebagai Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan kuda di lautan pasir, jalan santai, pameran.
Sekitar pukul 05.00 pendeta dari masing-masing desa, serta masyarakat Tengger mendaki Gn.Bromo untuk melempar Kurban (Sesaji) ke Kawah Gn.Bromo. Setelah pendeta melempar Ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.
Upacara Unan-Unan
Upacara ini diadakan hanya setiap lima tahun sekali. Tujuan dari unan-unan adalah untuk mengadakan penghormatan terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar pamujan.
No comments:
Post a Comment